Bab 1 Keluarga Iskandar Sangat Menjijikkan
“Lho, Kakak Ipar, drama apa lagi ini? Apa Kakak Ipar ingin kabur dari rumah?” Lydia Geraldine sedang turun tangga sambil menenteng tas koper dari lantai dua. Lalu suara Violin Iskandar yang peduh langsung terdengar dari belakangnya. Lydia hanya meliriknya sekilas, tapi tidak menggubrisnya. Lydia kembali melanjutkan kegiatannya. Begitu Lydia tiba di lantai satu, kebetulan dia berpapasan dengan ibunya Adam Iskandar, Hartini Kesuma. Nyonya kaya yang selalu memandang rendah dirinya itu meliriknya dengan tatapan merendahkan dan berkata, “Pagi-pagi begini bawa koper mau ke mana?” Lydia sudah tiga tahun menjadi menantu wanita ini. Mana mungkin dia tidak tahu bahwa Hartini sebentar lagi akan mencari gara-gara dengannya? Dulu, Lydia pasti akan meladeni Hartini, lalu segera meminta maaf dan membujuknya. Namun sekarang, semuanya sudah berbeda. Lydia sudah bertekad untuk melepaskan Adam. Jadi, dia tidak perlu lagi meladeni wanita tua yang sangat gampang naik darah ini. “Ke mana pun tidak masalah! Nyonya Hartini tenang saja. Kelak aku tidak akan pernah menginjakkan kakiku di rumah keluarga Iskandar lagi.” Lydia tidak bersikap sopan dan lembut seperti biasanya. Meskipun nadanya sangat tenang, sepasang matanya tidak terlihat seperti dulu yang selalu ingin mendapatkan simpati Hartini. Hawa dingin di dalam sorot mata itu, membuat Lydia terlihat sangat berbeda. Menantunya yang selalu menunduk ini, tiba-tiba saja membantah dirinya. Hartini merasa sangat tidak terbiasa. Alhasil, wajah Hartini langsung berubah kecut, “Lydia, beginikah sikapmu saat berbicara dengan orang tua?” “Seperti apa kamu memperlakukanku, seperti itu pula aku akan memperlakukanmu.” Lydia mengangkat alisnya. Sikap arogan dan sinis Lydia membuat amarah Hartini langsung naik ke ubun-ubunnya, “Lydia, apa kamu masih menganggap aku sebagai ibu mertuamu?” Mendengar pertanyaan ini, Lydia melihat Hartini sekilas, lalu tersenyum menyeringai dan berkata, “Maaf, sebentar lagi kamu bukan ibu mertuaku lagi.” Begitu Lydia mengatakannya, terdengar bunyi klakson yang berasal dari luar vila. Lydia mengangkat alisnya dan menambahkan, “Aku pergi dulu Nyonya Hartini. Semua barang yang ada di dalam kamar itu, aku sudah tidak menginginkannya lagi. Nanti, apakah kamu mau membuang atau membakar semua barang-barang itu terserah kamu saja. Kelak, jangan pernah menghubungiku lagi!” Sambil mengatakannya, Lydia menarik kopernya dengan santai. Sambil berjalan keluar, Lydia bergumam kembali, “Orang-orang keluarga Iskandar sangat menjijikkan.” Hartini masih belum merespons perkataan “Maaf, sebentar lagi kamu bukan ibu mertuaku lagi”. Saat mendengar Lydia mengucapkan kalimat terakhir itu, Hartini langsung meradang dan membentaknya, “Lydia!!! Kamu sudah gila, ya? Percayalah! Aku akan memberitahu Adam kalau kamu ….” “Ibu, apa kamu sudah melihat Lydia? Menggelikan sekali. Pagi-pagi dia sudah mau pergi dengan membawa kopernya. Hahahaha! Apa dia sengaja lewat di depan kita supaya kita menahannya?” Violin berjalan keluar. Melihat Hartini berdiri dan tidak bergerak, dia pun mengulurkan tangannya untuk menarik baju ibunya, lalu bertanya, “Ibu, kamu kenapa?” Ekspresi wajah Hartini terlihat sangat berkecamuk. Dulu, Lydia akan langsung bersikap patuh setiap kali Hartini mengungkit nama Adam. Akan tetapi, hari ini Lydia seperti bukan Lydia. Dia tetap berjalan pergi tanpa menoleh. Di luar, sebuah mobil sport sudah melaju pergi. Saat Hartini berjalan keluar dari pintu, dia hanya menemukan bayangan mobil sport tersebut. “Dia … dia sudah pergi?” Violin keluar mengikuti sang ibu, lalu mencebikkan bibirnya dan berkata, “Biarkan saja! Kak Shinta sudah kembali. Kalau dia tidak pergi sekarang, cepat atau lambat Kak Adam juga akan mengusirnya.” Perkataan Violin terdengar sangat masuk akal bagi Hartini. Putri dari keluarga Wijaya itu sebentar lagi akan kembali. Lydia yang ingin berpisah dari suaminya masih lumayan tahu diri. Sekarang, Lydia yang tahu diri sedang membalik-balik dokumen perceraiannya di atas mobil Porsche. Setelah membaca semua pasal-pasal yang tertera di dalamnya, Lydia langsung menandatanganinya dengan puas. Melihat hal itu, Benita Darmadi yang duduk di sebelahnya pun berdecak ringan dan berkata, “Kamu tidak mau memikirkannya lagi?” Lydia menutup pulpennya dan membalas, “Memikirkan apa lagi?” Wanita idaman Adam sudah kembali. Apa lagi yang bisa diharapkannya dari Adam? Sudah tiga tahun mereka menikah. Tiga tahun bukan waktu yang panjang, tapi juga bukan waktu yang pendek. Lydia kira, sedingin apa pun hati seorang pria, tiga tahun adalah waktu yang cukup untuk menghangatkan hati seorang pria. Sayangnya, Adam tidak punya hati. Hatinya sudah dia berikan pada wanita idamannya itu. Lydia merasa dirinya sudah bersikap sedikit tidak tahu malu. Waktu itu karena diminta untuk membalas budi, Lydia meminta Adam untuk meminangnya. Alhasil, dia pun mendapatkan status istri Pak Adam selama tiga tahun ini. Sekarang, Shinta Wijaya sudah kembali. Sudah waktunya bagi Lydia untuk mundur dari posisi istri Pak Adam. Kalau tidak, dia akan merasa kasihan pada Adam yang terus menjaga “kesuciannya” demi wanita itu. Benar sekali! Mereka sudah menikah selama tiga tahun, tapi mereka tidak pernah melakukan hubungan suami-istri sekali pun. Hal ini harus disembunyikan dan tidak boleh sampai tersebar ke luar sana. Jika tidak, orang-orang yang mentertawakan kegagalan pernikahannya malah akan menjerumuskannya. Waktu tiga tahun sudah cukup untuk memuaskan perasaan cinta yang sudah dipendam Lydia selama tujuh tahun. Lydia mengangkat tangannya untuk menutupi matanya supaya Benita tidak bisa melihat air matanya. Biar bagaimanapun, Lydia hanyalah manusia biasa. Setegar apa pun Lydia, tidak ada seorang pun yang tidak akan bersedih setelah cintanya selama 10 tahun ini berakhir seperti ini. Mobil sport merah itu berhenti. Benita mengangkat kacamata hitamnya dan berkata, “Kita sudah tiba. Lydia, kamu harus maju terus. Benita akan terus mendukungmu dari belakang!” Setelah selesai mengatakannya, Benita memberikan ciuman jarak jauh untuk Lydia. Melihatnya, Lydia langsung tersenyum dan berkata, “Sudahlah! Aku sudah tiba di medan perang!” Tidak salah! Melemparkan surat cerai ke hadapan Adam dengan gaya yang angkuh dan keren bukanlah hal yang mudah Lydia turun dari mobil sambil membawa surat cerainya. Selama tiga tahun pernikahan mereka, ini juga bukan pertama kalinya Lydia datang ke Perusahaan Niaga. Tentu saja, dia juga sudah berkali-kali tidak digubris oleh resepsionis perusahaan tersebut. “Nyonya Lydia, kalau Nyonya tidak membuat janji sebelumnya, Nyonya tidak boleh naik. Pak Adam sangat sibuk. Kalau semua orang bisa naik setelah berbicara denganku tanpa harus membuat janji terlebih dahulu, untuk apa perusahaan mempekerjakanku sebagai resepsionis?” Seseorang yang hanya bekerja sebagai resepsionis saja bisa mempersulit Lydia. Tidak perlu jauh-jauh memikirkannya lagi. Resepsionis ini bisa bersikap seperti ini karena Adam sama sekali tidak menganggap keberadaan Lydia. Lydia pun melihat ke bawah. Setelah itu, dia tersenyum dan berkata, “Sepertinya karyawan Perusahaan Niaga masih kurang pelatihan. Istri Pak Adam sampai harus membuat janji terlebih dahulu untuk bertemu dengan Pak Adam. Jelas sekali menjadi istri Pak Adam tidak membawakan keuntungan apa pun.” Lydia mengatakannya sambil melirik resepsionis itu. Selanjutnya, dia langsung berjalan dengan sepatu tumit tingginya menuju ke arah lift. Pertama kali melihat Lydia bersikap seperti itu, si resepsionis langsung terperangah. Saat dia sadar, si resepsionis langsung mendengus dan menghubungi atasannya. Dia takut kena masalah. Lydia belum tiba, Adam sudah tahu kalau sebentar lagi Lydia akan muncul di sana. Adam langsung mengernyit dan berkata, “Aku tidak mau bertemu dengannya.” Lima menit lagi, Adam masih harus mengikuti sebuah rapat singkat. Sekretaris menyahut dan beranjak pergi. Baru keluar dari kantor Adam, dia sudah melihat Lydia yang sedang melangkah mendekat dengan sepatu tumit tingginya. Hari ini Lydia terlihat sangat anggun dalam balutan rok ketat motif bunganya. Namun, entah kenapa ketika matanya melihat Lydia, sekretaris itu merasa ada yang berbeda dengan Lydia pada hari ini. “Sekretaris Arif!” Lydia mengambil inisiatif untuk menyapanya. Tanpa menunggu pria itu bereaksi, Lydia langsung mendorong pintu kantor Adam dan berkata, “Pak Adam, aku mengganggu sebentar. Ada dokumen yang membutuhkan tanda tangan Pak Adam.” Sambil mengatakannya, Lydia menatap tatapan dingin yang dilontarkan oleh pria itu, lalu meletakkan surat cerai yang dibawanya ke atas meja yang ada di hadapan pria tersebut sambil berkata, “Tanda tangan!”