Bab 6 Keluar, Kita Bicara
Melihat Lydia yang memakai gaun merah tidak jauh dari tempat itu, Aldi pun tidak tahan dan mengumpat, “Sulit dipercaya!” Willy yang berada di samping langsung mengangkat alisnya setelah mendengarnya dan berkata, “Kenapa sulit dipercaya?” “Lydia tidak mengambil sepeser pun uang Adam.” Willy langsung tertawa setelah mendengarnya dan berkata, “Kamu dengar dari siapa? Kalau dia tidak menginginkan uang Adam, bagaimana mungkin hari ini dia bisa menyewa seisi klub malam ini? Untuk anggur malam ini saja, harganya sudah sekitar 6 miliar. Apa menurutmu Lydia sanggup membayar uang 6 miliar tersebut?” Aldi memang tidak percaya, tapi membalas, “Adam sendiri yang mengatakannya padaku.” Willy terkejut dan berkata, “Sulit dipercaya sekali!” Lydia juga merasa tidak percaya. Jarang-jarang keluar untuk minum-minum, dia malah bertemu dengan teman-teman Adam. Apalagi, mereka bukan sekadar teman biasa. Melihat Lydia seperti tidak fokus, Benita pun mengambilkan cocktail untuknya dan berkata, “Kenapa kamu? Kenapa wajahmu masih semasam ini? Jangan beri tahu aku kalau sekarang kamu menyesal bercerai dari pria itu!” Lydia mendelik dan menjawab, “Aku menyesal mengeluarkan uang yang tidak seharusnya.” Lydia memang kaya, tapi dia tidak sampai seboros ini. Untung saja seumur hidupnya, Lydia hanya akan bercerai satu kali. Kalau sampai berkali-kali, orang paling kaya di dunia juga akan menyayangkan uang pesta bujangannya. Benita berdecak, lalu duduk di sebelah Lydia dan menyenggol Lydia dengan pundaknya sambil berkata, “Kalau begitu kamu kenapa? Apa kamu sedang memikirkan kenangan-kenangan manis di masa lalu?” Lydia menyeruput cocktail tersebut. Jujur saja, rasanya lumayan enak. Lydia kembali meneguknya, lalu berkata, “Coba lihat di arah jam delapan! Siapa dua orang yang sedang duduk di sana.” Benita tidak tahu. Setelah dia menoleh, anggur yang ada di tangannya hampir terjatuh saat dia berseru, “Ada apa dengan takdirmu?” Lydia hanya mengangkat bahunya dan berkata, “Aku juga ingin tahu. Takdir macam apa ini?” Padahal Lydia sedang berpesta untuk merayakan perceraiannya dan kehidupan barunya. Lydia malah menikmati cocktailnya sendirian dengan tidak bersemangat. Dua teman baik Adam berada tidak jauh dari tempat itu. Setelah memikirkannya, Lydia merasa tidak seharusnya membiarkan orang-orang itu mentertawakan dirinya. Lydia menghabiskan cocktail yang ada di tangannya, lalu bangkit dari tempatnya dan berkata, “Menari, yuk!” Benita mengangkat alisnya dan berkata, “Kita sudah lama tidak menari, bukan?” Lydia tertawa dan membalas, “Jangan mengungkitnya lagi! Kenyataannya memang seperti itu.” “Ayo jalan! Malam ini kita akan menjadi pusat perhatian.” Benita sangat antusias. Dia segera menarik Lydia menuju tempat DJ, lalu merebut microphonenya, “Hei! Selamat malam semuanya! Semua minuman untuk malam ini akan dibayar oleh kakak kaya ini, sahabat baikku, Lydia yang sudah resmi bercerai! Tapi hal ini bukan yang paling penting, yang paling penting adalah, kali ini kalian semua benar-benar beruntung. Untuk merayakan kelahiran kembali dari sahabatku ini, malam ini aku akan menyuguhkan sebuah pertunjukan yang tidak akan terlupakan untuk semua orang. Yiha! Mari semuanya, kita berpesta!” Awalnya, Lydia sempat merasa malu. Akan tetapi, si bintang besar Benita sama sekali tidak merasa malu. Untuk apa pula Lydia harus merasa malu. Entah apa yang dikatakan Benita pada sang DJ. Yang pasti, lampu di panggung sudah berubah. Semua orang yang tadinya masih berdiri di pentas juga mundur sendiri. Lampu-lampu yang ada di lantai dansa hanya menyoroti mereka berdua. Beberapa tiang juga bergerak turun dari langit-langit. Entah kenapa di bawah sorot lampu warna-warni itu, Lydia menjadi sangat bersemangat. Setelah menikah dengan Adam, Lydia sangat mengekang sifat binalnya dan selalu terlihat sangat lembut. Dia sampai lupa seperti apa dirinya yang sesungguhnya. Lydia sebenarnya tidak membutuhkan rasa simpati atau rasa iba dari siapa pun. Lydia hanya membutuhkan orang-orang menunduk padanya. Dia ingin menjadi ratu. Alunan musik mulai berkumandang. Lydia melirik Benita. Waktu itu, mereka berdua belajar menari karena Benita akan mengikuti kompetisi. Lydia bahkan pernah naik ke atas pentas bersama dengan Benita. Terakhir, karena Lydia suka menari tarian tiang, dia pun ikut mendaftar untuk berlatih tarian tiang bersama dengan Benita. Persahabatan selama 20 tahun ditambah dengan kekompakan dalam menari selama 7-8 tahun membuat tarian mereka tetap terlihat sangat kompak meski tidak berlatih bersama sebelumnya. Cahaya lampu menampilkan bayangan kedua gadis yang seperti sedang berpegangan pada tiang besi sambil berjalan mengelilingi tiang di pentas. Setiap langkah mereka terlihat sangat menarik dan seksi. Ketika jari jemari mereka yang putih gemulai saling bersentuhan di atas pentas, semua orang yang berada di bawah pentas langsung bersemangat. Mereka yang satu memakai busana berwarna hitam, sedangkan yang satu lagi memakai busana berwarna merah saling berpelukan satu sama lain. Melihat pemandangan ini, Isna Gunawan yang baru saja mematikan panggilan teleponnya rasanya mau pingsan. Apakah Benita sudah lupa kalau dirinya adalah seorang artis? Isna segera berlari mendekati pentas dan berseru, “Benita, apa kamu sudah gila?” Benita memang sedikit mabuk. Makanya, dia lupa kalau dirinya yang sekarang bukan dirinya yang dulu. Sekarang, setelah mendengar suara teriakan dari manajernya, dia pun tersadar dan mulai dilanda rasa takut. Sementara itu, Lydia yang berada di sampingnya jelas sudah lupa diri. Kaki indahnya yang sangat gemulai sudah bergelayut dengan tiang besi. Mulut Benita sampai menganga lebar menontonnya. Selanjutnya, dia menemukan ada seorang tamu tidak diundang di bawah pentas tersebut. Benita mengangkat alisnya, lalu segera menutup mulutnya kembali dan diam-diam turun dari pentas, meninggalkan Lydia seorang diri. Hari ini Lydia memakai gaun warna merah dan terlihat sangat mencuri perhatian ketika sedang berdiri di atas pentas. Ketika Benita turun dari pentas tersebut, meskipun ada orang yang menyadarinya, karena wanita cantik bergaun merah masih sedang menunjukkan kebolehannya, tidak ada satu pun yang menghentikan Benita. Begitu Adam berjalan masuk, dia langsung disuguhkan dengan pemandangan di mana wanita yang biasanya selalu terlihat sangat lembut dan anggun itu, sedang menari dan terlihat seperti seekor ular yang meliuk-liuk di tiang besi. Pinggulnya terlihat sangat lentur seperti tidak ada tulangnya. Kelenturannya membuat wanita itu seperti sudah menyatu dengan tiang besi tersebut. Rambut panjangnya menyibak ke arah lampu dan memperlihatkan wajah yang sangat cantik. Sepasang matanya terlihat sangat indah, lalu bola matanya terlihat sangat seksi dan menggoda. Lydia terlihat seperti kucing liar yang sedang memanjat tiang dengan santai. Dia juga terlihat seperti bunga mawar berduri yang sedang tumbuh menjulur ke atas. Sepasang kaki putih ramping yang mencuat dari balutan gaun merahnya, bergelayut di tiang besi, membuat orang-orang jadi berfantasi dengannya. Lydia perlahan-lahan bergerak turun sambil berpegangan pada tiang besi tersebut. Rok merahnya tersibak, lalu sepasang kaki indahnya mendarat di lantai. Lydia menyelesaikan gerakan tarian terakhirnya dengan tubuh yang sangat lentur menempel di tiang tersebut. Napas Lydia agak tersengal. Ketika dia melepaskan tangannya dan ingin turun dari pentas, Lydia melihat Adam yang sedang memperhatikannya tidak jauh dari tempat itu. Jarak mereka terpaut sekitar tiga meter lebih. Pria berjas yang berada di bawah pentas terlihat sangat dingin. Sorot matanya seperti memancarkan hawa kegelapan. Lydia hanya meliriknya sekilas, lalu mengalihkan tatapannya dan turun dari pentas. “Hebat sekali! Nona, apa kamu mau jadi simpanan om-om?” Lydia menerima jus buah yang disodorkan Benita untuknya. Setelah itu, dia pun menyentil kepala Benita dan berkata, “Jangan kira dengan begini, aku bisa memaafkanmu yang sudah meninggalkanku di atas pentas sendirian.” “Maaf! Aku mengaku salah!” Jelas kalau Benita adalah wanita yang sangat cerdas dan lucu. Namun, Isna malah membangun citra dingin dan anggun untuk wanita ini. Lydia sangat kagum setelah bertahun-tahun, Benita masih bisa menjaga citra tersebut. “Jangan memelukku!” Lydia menepis Benita tanpa ragu-ragu. Melihat wanita itu kembali ingin memeluknya, Lydia pun menjelaskan dengan tidak senang, “Aku berkeringat banyak. Jangan dekat-dekat denganku!” Benita tersenyum, lalu membisikkan sesuatu di telinga Lydia, “Adam sudah datang. Apa kamu tahu?” “Tahu!” Lydia menunduk dan menyeruput jus buahnya. “Kapan kamu menyadarinya?” Lydia tersenyum. Ketika dia hendak memberikan peringatan untuk Benita, sebuah suara pria yang sangat dingin langsung terdengar dari arah belakang, “Keluar! Kita bicara sebentar.”